Senin, 12 Desember 2011

Susu Sinjai Terima Penghargaan Presiden


SINJAI, UPEKS--Koperasi Susu SINTARI, yang memproduksi susu paesteurisasi dengan label Susu Sinjai (SUSIN), mendapat penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2011 dari Presiden Republik Indonesia, di istana negara baru-baru ini.
Penghargaan tertinggi bidang ketahanan pangan ini, diterima langsung Ketua Koperasi SINTARI, Kecamatan Sinjai Barat, Abd. Rajab. “Jadi Koperasi Susu SINTARI, menerima Adhikarya Pangan Nusantara untuk kategori Pengolahan Hasil Peternakan. Penghargaan ini diberikan kepada masyarakat, yang dinilai berprestasi dalam bidang ketahanan pangan, meliputi segi produksi, pengelolaan, sistem ketahanan pangan, maupun sistem agrobisnis pangan” jelas Kasubag Humas dan Protokol Pemkab Sinjai, Irwan Syuaib dalam rilisnya kepada Upeks.
Menurutnya, proses penilaian tersebut dimulai saat turunnya tim penilai dari Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Dari hasil peninjauan tersebut, diperoleh fakta bahwa pengelolaan produk SUSIN dibawah manajemen Koperasi Susu SINTARI, telah melewati uji kelayakan dari BPOM dan itu dianggap memiliki nilai lebih oleh tim penilai.
Adhikarya Pangan Nusantara diberikan kepada 61 penerima dalam empat kategori, yaitu 17 penghargaan pelopor ketahanan pangan, 13 penghargaan pelayanan ketahanan pangan, 25 penghargaan pengguna kreatif teknologi ketahanan pangan, dan 16 penghargaan pembina ketahanan pangan.

Sumber: http://www.ujungpandangekspres.com/

Sabtu, 04 Juni 2011

Karena Susin, Bupati Sinjai Diundang ke Semarang


Susu-Sinjai.jpg
Bupati Sinjai, Rudianto Asapa, melihat sapi perah di salah satu peternakan sapi di Sinjai. Pemkab Sinjai kini tengah menggenjot produksi susu yang dinamai Susu Sinjai (Susin) untuk konsumsi Sulsel dan nasional.
SINJAI, TRIBUN-TIMUR.COM -  Bupati Sinjai, A.Rudiyanto Asapa, diundang sebagai salah satu pembicara pada peringatan hari susu nusantara yang digelar di Plaza Semarang, Jateng, Kamis hingga Sabtu (2-4/6). Rudiyanto diundang karena Sinjai dinilai sebagai daerah yang berkomitmen dalam pengembangan industri susu sebagai makanan tambahan bagi anak.

Hadir sebagai satu-satunya kepala daerah, Rudi memperkenalkan produk susu murni dan susu olahan yang diberi nama Susu Sinjai (Susin). Dia juga memaparkan komitmen Pemkab Sinjai yang diperlihatkan melalui dukungan anggaran dan kebijakan pada industri susu lokal. Salah satu kebijakan tersebut yakni integrasi program Pemberian Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS) dan pengembangan sapi perah serta industri susu.

Program tersebut telah diretas pemkab sejak tahun 2004. Kasubag Humas Pemkab Sinjai, Irwan Suaib, menuturkan, dalam seminar Rudiyanto menjelaskan gagasan industri susu lokal melalui Susin untuk meningkatkan kesehatan sehingga bisa memacu pertumbuhan SDM Sinjai. "Anak usia sekolah yang diprogramkan meminum susu segar memiliki ketahanan fisik, minat dan kemampuan belajar yang lebih baik," tuturnya.

Sejak program PMT-AS bergulir, setiap murid SD kelas I hingga III memeroleh Susin sebanyak 150 cc setiap tahun atau setara dengan 40 gelas per tahun. Pada tahun 2010 sekitar 2.462 murid mendapat Susin. Sedangkan pada tahun ini, murid yang terdaftar pada program PMT-AS mencapai 2.551 orang.

Selain Rudiyanto, sejumlah pembicara yang hadir pada seminar yakni Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh Boediyana, Pimpinan PT Indolakto, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang dan perwakilan Dirjen Pendidikan Dasar Kemendiknas RI.(*)

Sumber: http://makassar.tribunnews.com/

Minggu, 15 Mei 2011

Para Perempuan Besi di Desa Gunung Perak




KOMPAS.com — Perjalanan menuju kaki Gunung Bawakaraeng adalah romantisme akan sawah hijau, pucuk pegunungan yang berselimut kabut, dan bentangan langit biru. Ini panorama sempurna yang memburamkan potret kemiskinan di wajah Nanneng (42), sang perempuan panre bassi (pandai besi) itu....
<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a3126491&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=951&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a3126491' border='0' alt='' /></a>
Tanah bergetar. Nanneng menghantamkan palu seberat lima kilogram untuk menempa besi panas membara. Tak sampai 20 pukulan, dia berhenti, mengambil napas, lalu mengelus lengannya. "Perempuan di sini kuat-kuat," ucapnya. Kanang (41), temannya, menimpali, kuat karena ditinggal pergi suami. Tawa mereka berderai, api dari tungku mendesis.
Ini sekelumit kisah dari pammanrean (bilik pandai besi) di Dusun Puncak, Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, sekitar 115 kilometer dari Kota Makassar. Sebanyak 18 perempuan di desa ini bekerja untuk membuat parang, arit, dan pisau dapur.
Para perempuan ini dikenal hingga ke pusat kecamatan. Mereka dianggap sebagai perempuan besi yang tenaganya mengalahkan pria. Tiada yang menyadari, kehidupan di pammanrean adalah rangkaian kerapuhan yang berlangsung bertahun-tahun.
Kerapuhan itu mewujud dalam rupa Nanneng. Suaminya, Baharuddin si pencari kayu, meninggal sepuluh tahun lalu meninggalkan tiga anak dan kemiskinan. Satu-satunya pilihan bagi perempuan yang tidak tamat sekolah dasar seperti dia adalah menjadi panre bassi.
Nanneng adalah generasi ketujuh pandai besi di keluarganya. Ini pekerjaan yang dilakoni oleh mayoritas perempuan di Desa Gunung Perak karena suami lebih memilih bekerja di sawah dan merantau. Mereka belajar hanya dengan melihat dan kekuatan untuk mengayunkan palu bertambah karena kebiasaan.
Desakan ekonomi menyeret Nanneng ke pammanrean. Dia dibantu oleh dua sahi (pembantu) yang bertugas memompa tabung kayu agar api menyala dan menempa besi membantu Nanneng. Tujuh hari dalam seminggu, mereka bekerja sejak pukul 08.00 hingga 17.00.
Ini kerja keras dengan hasil yang minim. Untuk membuat satu parang, misalnya, dibutuhkan setengah kilogram besi tua, arang, dan dua sahi yang diupah Rp 2.500 untuk setiap batang parang. Parang yang ditempa masih harus dikikir sebelum dijual ke Pasar Manipi, sekitar lima kilometer dari Dusun Puncak, dengan harga Rp 35.000 per batang.
Pasar hanya berlangsung setiap Rabu dan para perempuan harus menyewa angkutan dengan biaya Rp 20.000 untuk menuju ke sana. "Kalau hanya laku satu saja, artinya tidak ada uang jajan untuk anak," tukas Nanneng.
Harus kuat
Para perempuan yang berjibaku di pammanrean hanya punya satu pilihan: menjadi kuat. Alam tempat mereka berdiam telah mengajarkan mereka untuk bertahan. Dusun yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 mdpl ini seakan tersembunyi dari hiruk-pikuk kegembiraan para pendaki yang menuju Gunung Bawakaraeng.
Jalan pedesaan selebar empat meter sudah diaspal, namun tiada angkutan umum yang lewat. Sangatlah jamak penduduk tua dan muda berjalan dengan santai dan perlahan untuk menuju sekolah serta pasar sembari menikmati sawah dan pegunungan di kiri-kanan jalan yang berliku tajam. Angkutan baru digunakan jika penduduk hendak menjual barang dalam jumlah banyak ke pasar.
Hasil alam yang bisa diandalkan hanya sawah yang dipanen dua kali dalam setahun. Sawah milik Nanneng yang katanya, "Malu sebut luasnya karena sangat sedikit", menghasilkan sepuluh liter beras saja. Beras itu hanya mencukupi kebutuhan dia dan tiga anaknya selama sebulan. Untuk itulah dia tetap menjadi panre bassi agar bisa membeli kebutuhan pokok.
Dusun yang dihuni sekitar 150 keluarga ini bak dusun kaum perempuan. Mayoritas pria merantau sejak belasan tahun lalu dan kembali tak tentu waktu. Ini juga yang mendorong Kanang menjadi sahi setelah suaminya, Yusuf, merantau menjadi buruh harian di Makassar hingga Jayapura.
Sejak anak sulung mereka berusia 40 hari, Yusuf sudah meninggalkan dusun dan hanya kembali dua bulan sekali. "Anak bungsu lahir pun tidak dilihat bapaknya," kata Kanang dengan nada datar.
Kebutuhan semakin banyak dan Yusuf semakin jarang pulang. Dari satu bulan menjadi tiga bulan hingga Kanang tidak lagi menunggu. "Yang penting uang bulanan datang," ucapnya.
Yusuf menitipkan uang belanja untuk istrinya kepada sopir truk di Makassar yang sebulan sekali membawa pesanan besi tua dari Makassar ke Dusun Puncak. Bagi Kanang, uang itu bisa dipakai untuk membeli beras, tetapi tidak akan menggantikan ketidakhadiran sosok ayah bagi lima anaknya.
Janji tinggal janji
Dari balik pammanrean, para perempuan tengah mempertahankan kehidupan kendati itu harus dibayar dengan kesehatan yang memburuk. Puluhan tahun bekerja dengan bara api, besi, dan tungku panas membuat kulit tangan Nanneng melepuh dan berbintik kecoklatan. Dia tidak menggunakan sarung tangan karena dianggap menghambat pergerakan.
Panre bassi lainnya, Halijah (50), mengeluhkan tangannya yang pegal-pegal setiap malam sehingga kerap sulit tidur. Paparan api dan serbuk besi dalam waktu lama membuatnya kerap batuk dan sesak napas. Tetapi, pergi dokter tak pernah ada dalam kamus mereka. Biaya ke dokter artinya mengurangi jatah untuk membeli beras.
Untuk mengurangi beban pandai besi, Kelompok Pandai Besi Maddakko, wadah bagi para panre bassi, sudah mengajukan permintaan bantuan blower untuk mengipasi tungku api dan gerinda ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sinjai.  
"Kunjungan dari dinas ke sini sering, tetapi bantuan yang dijanjikan tidak pernah datang," ujar Ketua Kelompok Pandai Besi Maddakko Amir Huda.
Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar Prof Dwia Aries Tina menilai, kemiskinan mendorong para perempuan menjalani pekerjaan yang selama ini dianggap wilayah pria. "Itu dimaklumi, sekarang tinggal bagaimana pemerintah memberikan fasilitas yang memadai agar mereka tidak terus dijerat kemiskinan," ucapnya.
Di tengah pengabaian dari pemerintah, para perempuan di kaki Gunung Bawakaraeng ini menunjukkan, daya hidup mereka sekukuh besi, yang terus-menerus ditempa gelombang kehidupan.

Sumber: http://regional.kompas.com/

Jumat, 04 Maret 2011

Manipi dalam Media


 


TEMPO Interaktif, Jakarta -  PT PLN (persero) menambah pasokan daya listrik Sulawesi Selatan sebanyak 10 Megawatt dalam waktu dekat. Rencananya, tambahan pasokan tersebut akan datang dari PLTA di Tangka-Manipi yang berada di Sinjai, Sulawesi Selatan.

PLTA Tangka-Manipi memiliki kapasitas terpasang sebesar 10 Megawatt yang terdiri dari 2 unit mesin, yakni 1x6,5 MW dan 1x 3,5 MW. Pembangkit tersebut dikembangkan oleh pengembang listrik swasta PT Sulawesi Mini Hydro Power (SMHP)."Penandantangan Power Purchase Aggreement (PPA) antara PLN dengan pihak pengembang telah dilakukan sejak n Maret 2007," kata Manajer Humas PLN, Bambang Dwiyanto, Jumat (04/03).

Proyek PLTA Tangka sebelumnya sempat masuk dalam kategori IPP (Independent Power Producer), namun mengalami kendala akibat permintaan kenaikan harga jual dari pihak pengembang yang dinilai cukup tinggi oleh PLN.
PLN akhirnya melakukan proses penyelesaian dan negosiasi ulang, sehingga proyek dapat diselesaikan dan pembangkit dapat dioperasikan untuk memperkuat sistim kelistrikan Sulawesi Selatan. "Nantinya, PLN akan membeli listrik yang dihasilkan dari PLTA Tangka sekitar Rp. 601 /kWH," jelasnya.

Pembelian listrik dari PLTA Tangka akan sangat signifikan untuk menekan biaya produksi listrik perusahaan setrum tersebut, potensi penghematan yang bisa dilakukan PLN diperkirakan bisa mencapai sekitar Rp. 50 Juta/hari atau Rp.1,5 Milyar per bulannya, apalagi saat ini konsumsi listrik di wilayah tersebut mengalami peningkatan terutama untuk provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat.

Setelah beroperasi penuh, listrik yang dihasilkan dari PLTA Tangka akan disalurkan melalui jaringan transmisi pada sistim kelistrikan Sulawesi Selatan. Saat ini, kelistrikan di wilayah Sulawesi Selatan dikelola oleh PLN Wilayah Sulselrabar yang menjangkau 3 provinsi yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat.
Kemampuan pasok sistim kelistrikan Sulselrabar mencapai 790,6 MW. Dari daya mampu sebesar itu, 321,1 MW di antaranya berasal dari sejumlah pembangkit milik PLN yang ada di wilayah Sulserabar, pasokan dari IPP sebesar 262,5 MW dan dari pembangkit sewa 207 MW. Sementara itu kebutuhan pasokan pada saat beban puncak (peak load) mencapai 669,3 MW.

GUSTIDHA BUDIARTIE

Senin, 14 Februari 2011

Sinjai Barat Daerah Wisata yang Potensial


Kec. Sinjai Barat yang terkenal dengan daerah pengembangan holtikultura memiliki banyak potensi wisata lainnya yang tak kalah menariknya, seperti perkebunan, pengolahan markisa segar, tanaman sayuran dan kopi arabika dan anda dapat pula menyaksikan acara ziarah ke kompleks makam raja-raja Turungeng, makam Srikandi Balakia dan pusat pengembangan peternakan sapi perah, dan masih banyak lagi wisata-wisata lainnya yang dimiliki Sinjai Barat. Sinjai Barat juga mempunyai banyak air terjun yang sangat menakjubkan, ada Air Terjun Pincuni, Air Terjun Baju Ejayya, dan Air Terjun Barania. Selain itu pemandangan pengunungannya yang melukiskan khasanah keindahan alam yang natural.

Sabtu, 12 Februari 2011

Pengembangan Sapi Perah Di Kab. Sinjai

Desa Gunung Perak di Sinjai Barat adalah salah satu desa yang subur di Kabupaten Sinjai – Sulawesi Selatan. Desa ini berada di ketinggian seribu seratus meter dari permukaan laut, sehingga iklim di disini terasa sangat sejuk.
Sebagian besar penduduk desa ini yang berjumlah sekitar tiga ribu jiwa, mengandalkan mata pencaharian dengan menanam daun tembakau.
Mereka masih mengolahnya secara tradisional dan menjadi tembakau pilihan yang harganya cukup baik di pasaran. Pekerjaan seperti ini sudah rutin dan membuat mereka merasa hidup berkecukupan.
Namun tidak dengan Rajab. Sebelumnya, ia berternak sapi potong, kini ia beralih berternak sapi perah. Tidak banyak warga di desa yang melakukan ini, karena sama saja mengubah hidup seratus delapan puluh derajat.
Bayangkan, Rajab setiap hari harus membersihkan kandang dan enam ekor sapinya. Ini jauh berbeda dengan sapi potong.
Sembilan puluh persen warga di desa ini masih berternak sapi potong. Sekilas lebih mudah, namun hasilnya juga tidak seberapa.Hanya saja, Rajab, tidak mau menyebutkan besar keuntungan yang ia dapat.
Rajab kini, menjadi motor penggerak di desanya. Sebagian tetangganya, mulai mengikuti jejak ayah dari tiga orang anak ini.
Usaha Rajab memang tidak mudah, karena sebagian besar masyarakat di sini, masih enggan untuk beralih ke ternak sapi perah, karena terbatasnya lahan rumput untuk pakan-nya.
Rajab sebaliknya sudah mulai memetik hasilnya. Susu perahannya ia jual ke koperasi susu milik pemerintah. Di sini, susu murni Rajab disterilkan agar bisa bertahan lama, lalu dikemas menjadi produk susu segar dengan rasa coklat dan strawberry.
Rajab dan segelintir warga di Desa Gunung perak di Sinjai Barat, adalah potret dari sebagian masyarakat yang berani untuk mencoba sesuatu yang belum lazim di daerahnya. Tentunya Rajab membutuhkan dukungan besar, karena biasanya langkah besar dimulai dari langkah yang kecil.
Sumber: http://www.indosiar.com/ragam/57046/rezeki-dari-sapi-perah